MARIE ANTOINETTE REVIEW: KETIKA YANG TERLALU MUDA MEMIMPIN

0 Comments



“Marie Antoinette” biopik versi Sofia Coppola memang bukan film biopik terbaik, namun salah satu yang kontroversial dan unik dalam skenanya. Rilis pada 2006, film ini terkenal karena presentasi visualnya yang mewah dan arahan biopik yang unik, usaha sang sutradara dalam menggambarkan takdir tragis ratu terakhir Prancis, Marie Antoinette yang dibintangi oleh Kirsten Dunst.

Film ini menerobos aturan film drama bertema sejarah tradisional, meleburkan latar abad ke-18 dengan estetika modern. Coppola memiliki pandangan tentang Marie Antoinette sebagai gadis muda yang disalahpahami, terisolasi di negeri asing, dan terjerumus dalam gaya hidup di Versailles yang mewah. Film ini lebih fokus pada perjalanan personal dan emosinal dari sosok Marie Antoinette daripada peristiwa politik yang tercatat di sejarah.

Kirsten Dunst menampilkan remaja perempuan lugu dari Austria yang mendapatkan tekanan melampaui usianya. Dinikahkan kepada cucu Raja Louis XV, Louis XVI (Jason Schwartzman), pada usia 14. Penyatuan kedua pasangan belia tersebut memiliki tujuan menyatukan dua bangsa dan ekspektasi untuk Marie melahirkan bayi laki-laki sebagai penerus monarki Prancis.

Marie Antoinette

Interpretasi Marie Antoinette sebagai ‘Sad Girl’ Ala Sofia Coppola

Terkenal melalui dua film pertamanya, “The Virgin Suicides” (1999) dan “Lost in Translation” (2003), Sofia Coppola menyandang gelar sebagai sutradara film bertema ‘sad girl’. Begitu pula baru-baru ini ia kembali memproduksi biopik mantan istri Elvis Presley, “Priscilla” yang juga memberikan potrait sosok gadis muda yang kesepian, terisolasi, dan dimanipulasi oleh keadaan.

“Marie Antoinette” merupakan film ketiga dan film biopik pertama yang disutradarai oleh Sofia Coppola. Sejak awal, akurasi sejarah memang bukan visi utama sang sutradara muda kala itu. Coppola lebih tertarik untuk mengeksplorasi sosok Marie Antoinette sebagai ‘sad girl’, terutama dengan tekanan dan ekspektasi para bangsawan di Versailles.

Penampilan Kirsten Dunst sebagai Marie Antoinette menjadi yang terpenting dan terbaik dalam film biopik ini. Sejak muda, aktris yang masih aktif berakting hingga saat ini memang paling jago memberikan penampilan sebagai ‘sad girl’. Ia juga menjadi bintang untuk “The Virgin Suicides”, kemudian pada 2011 menjadi wanita depresi dalam “Melancholia”.

Jika Marie Antoinette dicatat sebagai ratu muda yang materialistis dan hobi berjudi, penampilan Kirsten Dunst menampilkan sosok di balik kastil yang tidak ingin dipahami oleh rakyat jelata Prancis, bahkan jangkauan yang lebih luas, para anti-monarki.

Kemewahan Versailles yang Membuai dan Mengisolasi

“Marie Antoinette” menuai ulasan beragam, cukup seimbang antara pro dan kontra. Terutama karena film biopik pada masanya masih berpatok pada nilai akurasi sejarah. Namun semuanya setuju bahwa “Marie Antoinette” merupakan salah satu film dengan sinematografi dan desain produksi terbaik. Sofia Copolla beruntung mendapatkan ijin resmi dari pemerintahan Prancis untuk melakukan syuting di Palace of Versailles. Sebagian besar proses syuting benar-benar diambil di kastil megah dan mewah Prancis tersebut.

Belum lagi tata rias dan tata busana, Kirsten Dunst tercatat memiliki lebih dari 60 kostum sebagai Marie Antoinette. Kemudian didukung dengan properti lainnya yang menunjukan gaya hidup aristrokrat yang mewah. Mulai dari sederet pesta, acara hangout ala bangsawan, hingga kegiatan biasa seperti bermain di taman istana atau berburu menunggangi kuda.

Sejak awal hingga akhir film, penonton benar-benar hanya diperlihatkan kehidupan Marie dan Louis di dalam istana, yang membuai sekaligus mengisolasi. Hal ini diaplikasikan untuk mengajak penonton memahami betapa tidak relevannya Marie dan Louis dengan kehidupan keras rakyat jelata. Mungkin aspek ini juga yang dikritik karena seakan-akan meromantisasi kehidupan bangsawan dan mengabaikan kehidupan rakyat jelata. Namun itulah keseluruhan poin dari “Marie Antoinette” dengan eksekusi desain produksinya yang begitu totalitas.

Ketika yang Terlalu Muda Memimpin, Siapa yang Salah?

Dalam sejarah, peristiwa Revolusi Prancis mencatat Ratu Marie Antoinette dan Raja Louis XVI sebagai antagonis utama dari kubu penguasa. Melawan rakyat jelata yang kalah itu mengalami krisis kehidupan dan dilanda kelaparan. Namun film “Marie Antoinette” menantang penonton untuk memahami perspektif penguasa muda yang terlalu muda untuk memimpin bangsanya.

Sofia Coppola sendiri, sebagai putri sutradara ternama, Ford Coppola, kerap disalahpahami seniman yang relatif memiliki ‘privilege’. Jika memperhatikan latar belakang tersebut, akan semakin muda memahami bagaimana sang sutradara mendapatkan inspirasi dalam menggarap biopik Marie Antoinette yang sempat kontroversial ini.

Dalam “Marie Antoinette”, Coppola tidak melukis portrait pasangan pemimpin monarki muda sebagai sosok yang jahat dan tidak peduli dengan masyarakatnya. Tumbuh besar sebagai bangsawan dalam gelembung Versailles ‘lah yang tidak memberikan pilihan untuk mereka memahami penderitaan dan amuk masyarakat Prancis yang kelaparan pada masa itu. Tak hanya Kirsten Dunst, penampilan Jason Schwartzman dalam film ini juga berkesan sebagai raja muda yang pemalu dan kikuk.

Daripada menyalahkan pasangan muda yang menjadi simbol dari hancurnya monarki Prancis, film “Marie Antoinette” menekankan kegagalan pada standard monarki Prancis yang materialistis dan terisolasi dari rakyatnya. Tak hanya masyarakat jelata, Marie Antoinette bersama suaminya juga merupakan korban dari sistem monarki yang kala itu dijunjung oleh aristrokrat kerajaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts